kimberlycartier.org – Dalam beberapa tahun terakhir, gaya hidup digital semakin meresap dalam kehidupan manusia. Informasi hadir tanpa jeda, dan perangkat di genggaman membuat kita selalu terhubung dengan kabar terbaru dari seluruh dunia. Namun, di balik kemudahan itu, muncul sebuah fenomena yang pelan namun pasti mulai menggerogoti kesehatan mental banyak orang: doom scrolling. Istilah ini menggambarkan kebiasaan terus menerus menelusuri berita buruk, konten negatif, dan berbagai informasi yang memicu kecemasan, terutama di media sosial.
Doom scrolling awalnya terlihat seperti perilaku yang wajar. Seseorang hanya ingin tahu apa yang sedang terjadi. Namun ketika informasi negatif selalu menjadi fokus konsumsi, otak kita dipaksa berada dalam situasi “bahaya” yang tidak pernah selesai. Pikiran terus waspada, rasa takut akan masa depan meningkat, dan energi mental terkuras tanpa disadari.
Kondisi ini dipicu oleh algoritma media sosial yang cenderung menampilkan konten yang memancing emosi kuat. Berita bencana, kriminalitas, konflik politik, hingga gosip sensasional mudah sekali memenuhi linimasa. Semakin sering kita membaca atau menonton hal semacam itu, semakin banyak pula konten serupa yang disajikan oleh sistem. Akhirnya, kita masuk dalam lingkaran konten negatif yang seolah tidak ada ujungnya.
Dampaknya tidak bisa diremehkan. Banyak orang merasakan gejala psikologis, seperti kecemasan meningkat, sulit tidur, penurunan mood, hingga berkurangnya motivasi menjalani aktivitas harian. Bahkan, sebagian mengalami burnout meski tidak sedang menghadapi tekanan berat dalam pekerjaan atau kehidupan pribadi. Otak mereka terlalu lelah menghadapi berbagai ketakutan yang sebenarnya tidak benar-benar terjadi pada diri mereka langsung.
Ironisnya, doom scrolling sering kali dilakukan pada waktu senggang—misalnya sebelum tidur atau saat istirahat. Alih-alih mendapatkan relaksasi, kita justru menenggelamkan diri dalam tumpukan konten yang memicu stres. Tanpa terasa, satu menit bergulir menjadi satu jam, dan kita pun kehilangan kendali atas waktu maupun emosi.
Fenomena ini tidak hanya menimpa orang dewasa, namun juga anak muda yang lebih aktif di dunia digital. Generasi yang tumbuh bersama layar gadget memiliki risiko lebih tinggi. Mereka lebih rentan mengalami social anxiety, perbandingan sosial yang tidak sehat, hingga depresi karena terpapar terlalu banyak konten negatif dalam jangka panjang.
Untuk mengatasi kebiasaan ini, langkah awal yang penting adalah menyadari bahwa doom scrolling merupakan masalah nyata. Kita perlu menetapkan batas waktu menggunakan media sosial, memilih sumber informasi yang lebih positif, hingga membiasakan aktivitas yang menenangkan seperti membaca buku, olahraga ringan, atau sekadar berbicara dengan orang terdekat. Mengaktifkan fitur screen time atau digital wellbeing juga dapat membantu menjaga pola konsumsi informasi tetap sehat.
Selain itu, penting untuk mengingat bahwa tidak semua hal buruk di dunia perlu kita konsumsi setiap hari. Menjaga diri tetap terinformasi memang baik, tetapi kesehatan mental juga harus menjadi prioritas. Kita berhak mengambil jarak dari layar jika itu membantu menjaga ketenangan pikiran.
Pada akhirnya, doom scrolling adalah produk dari kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan. Namun dengan kesadaran dan kendali diri, kita bisa tetap menikmati dunia digital tanpa menjadi korban dari arus informasi negatif yang tidak pernah berhenti. Kesehatan mental adalah investasi jangka panjang—dan itu layak diperjuangkan, bahkan dengan langkah sederhana seperti berhenti melakukan scroll untuk hal-hal yang membuat hati semakin gelisah.
